“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah
hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sampai Allah memberi kemampuan kepada
mereka dengan karunia-Nya.” (QS.An-Nur:33)
Yang saya maksudkan dengan mengangkat
derajat hasrat biologis adalah keharusan untuk mendudukkan hasrat tersebut di
posisi yang mulia. Caranya bukan dengan menumbuhkan keengganan untuk menikah.
Rasulullah SAW memerintahkan kepada seorang yang masih lajang untuk berpuasa.
Ini merupakan salah satu solusi Islam untuk memuliakan hasrat tersebut. Akan
tetapi, cara ini tidak berlaku seterusnya, seperti yang banyak dilakukan oleh
golongan nonmuslim.
Di mana letak perbedaan cara pandang Islam dengan Freud (seorang tokoh
psikoanalisa Yahudi) dalam masalah ini?
Menurut
Freud, manusia harus bias melampiaskan gairah seksnya, sebab menekannya akan
menyebabkan penyakit jiwa (neurosis).
Dr. Casius Karel
di bukunya, Al-Insan Dzalika al-Majhula, menulis: “Biasanya kecerobohan dalam melampiaskan
seks akan menurunkan fungsi otak. Akal yang sehat hanya bisa menerima hubungan
seks yang sehat sehingga mampu mengalami orgasme.”
Inti pandangan Freud adalah bahwa ajaran
Yahudi membolehkan umatnya melakukan hubungan seks secara bebas dengan tujuan
untuk memperbanyak keturunan mereka. Hal ini berkaitan dengan tuntutan Zionisme
Internasional tentang berdirinya Negara Israel. Di sisi lain para tokoh Zionis
berpandangan bahwa bangsa Israel harus menghancurkan setiap peradaban yang
berkembang dimuka bumi ini agar mereka mudah dikuasai. Adapun generasi muda
Israel menganggap pandangan Freud sebagai pembolehan untuk berhubungan seks “di
bawah matahari” (seks bebas). Bila demikian halnya, tidak ada lagi sesuatu yang
dianggap sakral, dan saat itulah terjadi krisis moral yang teramat dahsyat.
Teori Freud akhirnya ditolak oleh beberapa
Negara menyusul timbulnya dampak buruk pada generasi muda mereka sewaktu teori
ini masih diajarkan di berbagai lembaga pendidikan. Jadi, kendati ada keharusan
untuk memuliakan hasrat seks, tetapi tak bisa dibenarkan jika caranya dengan
menonton dan membaca hal-hal tak senonoh.
Rasulullah
SAW bersabda: “Wahai kaum muda, barangsiapa di antara kalian punya
kemampuan untuk menikah maka menikahlah. Karena hal itu dapat menundukkan
pandangan dan menjaga kehormatan kalian. Sedangkan barangsiapa belum mampu maka
hendaknya ia berpuasa, dan puasa itu adalah perisai baginya.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Fokusnya adalah pada kemampuan untuk memberi
nafkah, baik itu berupa sandang, pangan, maupun kemampuan melakukan senggama.
Nash-nash dari Al-Qur’an dan Sunnah mengisyaratkan bahwa menikah itu di
wajibkan bagi yang telah mampu. Maka saya tak habis pikir, mengapa ada sebagian
Ulama yang menyimpulkan bahwa hukum menikah hanya mubah.
Hal itu memang pernah terjadi pada awal
perkembangan Islam. Akan tetapi, sewaktu pemerintahan Islam sudah berkemampuan,
setiap muslim berhak (wajib) untuk menikah, kendati hal itu dilakukan dengan
cara berhutang lebih dulu untuk membayar mahar dan kebutuhan lainnya.
Alasannya, pemerintah dalam hal ini diharuskan menanggung pembayaran hutang
orang itu, yang diambilkan dari bagian zakat orang yang berhutang.
No comments:
Post a Comment