Ada tiga orang berkunjung ke rumah
istri-istri Nabi SAW dengan maksud
menanyakan ibadah yang dilakukan beliau. Tatkala diterangkan, mereka menganggapnya
tinggi dan berkata, “Apalah kita ini jika dibandingkan dengan Rasulullah,
sedangkan Allah telah mengampuni segala dosa beliau yang telah lalu maupun yang
akan datang!”
seorang di
antara mereka berkata, “Jika demikian halnya, aku akan selalu mengerjakan shalat
malam.”
Berkata
lain, “Aku kan
berpuasa setahun penuh tanpa berbuka.”
Yang lain
lagi menimpali, “Aku
akan menjauhi perempuan dan tidak menikah selama-lamanya.”
Mendengar perkataan itu, Rasulullah SAW
mendatangi mereka seraya bersabda, “Kaliankah yang mengatakan ini dan itu? Demi Allah, aku
adalah hamba yang sangat takut dan sangat bertakwa kepada Allah dibanding
kalian. Akan tetapi, manakala berpuasa, aku berbuka. Setelah melaksanakan
shalat, aku juga tidur. Di samping itu,
aku pun punya istri (menikah). Maka barangsiapa membenci (tidak
mengikuti) sunnahku, ia tidak termasuk golonganku.” (HR.Bukhari).
Dari sesuatu yang dikhawatirkan itu,
seluruhnya merupakan imbauan dari Al-Qur’an
dan Hadits untuk menyegerakan berumah tangga. Seperti kita ketahui, ada
kalangan sufi yang tidak mempedulikan (bahkan mengajak orang lain untuk
meninggalkan) perkawinan. Imbauan ini adalah kebodohan atau anjuran yang
membinasakan kaum muslimin dan mencampakkan mereka ke perbuatan keji. Ibnu Jauzi membantah pendapat mereka
dan menjelaskan kesesatan mereka di bukunya. Talbis Iblis.
Golongan pemuda sufi
yang tidak menikah bisa menderita gangguan sebagai berikut:
Ø Pertama, sakit
akibat tertahannya sperma. Apabila sperma seseorang terlalu banyak, ia akan
mengalir ke otak. Abu Bakar ibn Zakaria
ar-Razi berkata, “Aku pernah melihat sejumlah kaum yang spermanya
berlebih. Pada saat mereka menahan diri dengan tidak melakukan hubungan seks
sama sekali, tubuh mereka menjadi dingin dan sulit digerakkan, dan mereka
dilanda kesedihan tanpa sebab.” Abu Bakar melanjutkan, “Aku pernah
melihat seorang lelaki menjauhi hubungan seks, dan akibatnya nafsu makannya
lenyap. Sekalipun ia mencoba makan sedikit, tetap tidak dapat menyembuhkan dan
menguatkan. Setelah ia kembali melakukan hubungan seks, gejala tersebut hilang
seketika.”
Ø Kedua,
mengerjakan hal-hal yang dilarang. Pada saat seseorang bertahan untuk tidak
melakukan hubungan seks, sperma yang ada di dalam tubuh mereka mengumpul.
Akibatnya, kegelisahan menyelimuti jiwa. Dampak dari kegelisahan itu pada
akhirnya dilampiaskan kepada sesuatu yang seharusnya ditinggalkan. Akibatnya
mereka tenggelam dalam hawa nafsu duniawi secara berlebihan.
Ø Ketiga, menyukai
anak dibawah umur dan gemar melakukan praktik hubungan seks yang menyimpang.
Kebodohan telah mengarahkan sejumlah orang
ke jalan yang tak pantas, misalnya memotong batang penis. Dalam pandangannya,
perbuatan itu merupakan ungkapan rasa malu kepada Allah SWT, padahal semua itu adalah ketololan yang tak ternilai. Betapa
tidak, dengan “benda” itu Allah
memuliakan lelaki atas perempuan sebagai “sebab” adanya keturunan. Namun,
orang-orang itu berpendapat bahwa yang benar bukanlah seperti itu. Maka mereka
memotong penis mereka sendiri untuk menghilangkan keinginan menikah. Sebuah
tujuan yang takkan pernah berhasil!
Rasulullah SAW pernah
mempertemukan Salman dengan Abu Darda’.
Suatu hari Salman mengunjungi Abu Darda’, dan pada waktu itu kondisi Ummu Darda’ kusut-masai.
Maka
bertanyalah Salman, “Ada apa gerangan,
Ummu Darda’?”
Ummu Darda’ menjawab, “Saudaramu, Abu Darda’. Malam ia shalat,
siang ia puasa. Sepertinya ia tak membutuhkan sesuatu dari dunia ini!”
Kemudian Abu Darda’ datang menyambut Salman lalu menyuguhkan makanan. Salman pun berkata kepada Abu Darda’, “Makanlah!”
Abu Darda’ menjawab, “Aku sedang berpuasa.”
Salman bersikeras, “Kuberikan kepadamu agar engkau berbuka,
dan aku tidak akan makan sampai engkau ikut makan bersamaku.”
Akhirnya Abu Darda’ makan bersama Salman. Kemudian Salman menginap di rumahnya. Ketika malam tiba, Abu Darda’ bermaksud melakukan shalat
malam. Salman mencegahnya seraya
berkata, “Wahai
Abu Darda’, tubuhmu punya hak atas dirimu. Begitu pula keluargamu punya hak
atas dirimu. Silahkan engkau berpuasa, tetapi berbukalah. Silahkan mengerjakan
shalat, tetapi datangilah pula keluargamu (istrimu)!. Berikan kepada semua yang
punya hak akan hak-haknya!”
ketika waktu
subuh hampir tiba, Salman berkata, “kalau mau, maka
bangunlah engkau sekarang.”
Abu Darda’ pun beranjak bangun, kemudian
mereka berdua mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat. Belakangan Abu Darda’ mengadukan kepada Rasulullah semua yang dilakukan oleh Salman kepadanya. Rasul ternyata berkata kepadanya, “Wahai Abu Darda’, sungguh tubuhmu punya
hak atas dirimu, sama seperti perkataan Salman.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Salman benar”.
(HR.Bukhari dan Tirmidzi)
Islam adalah
agama dinamis, agama kehidupan. Ia tidak berhenti pada keinginan dan tabiat
saja, melainkan selalu memberi motivasi dan membuka ruang untuk berkembang.
Sebenarnya tidak mengherankan, sebab semua itu adalah irama kehidupan dan
keberadaan manusia. Adalah suatu kebodohan kalau seseorang melawannya. Yang
benar adalah membimbing dan mengarahkan tabiat, itu akan menjadi suatu keberuntungan.
Islam membuka jalan agar umatnya
selalu bahagia dan eksis dalam membina kehidupan yang harmonis. Manakala Islam mengharamkan zina dan minuman
keras, maksudnya tak lain adalah agar umatnya selalu sehat dan kuat sehingga
waktu yang sangat berharga bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih berguna.
Bukan seperti anggapan sebagian orang picik bahwa hal itu dimaksudkan untuk
membatasi kesenangan manusia.
Telah sama-sama kita ketahui bahwa Rasulullah SAW tidak sependapat dengan
tiga orang yang beribadah dengan melawan tabiat kemanusiaan dan mengubah apa
yang tak selayaknya dengan dalih mendekatkan diri kepada Allah. Beliau memberitahu kita bahwa apa yang mereka lakukan itu
justru bisa menjauhkan seseorang dari Islam
dan fitrah kemanusiaan, sebab mereka menyibukkan diri dengan memerangi keinginan
jiwa. Membujang tidak selalu membuat seseorang selamanya terhindar dari dosa,
dan hanya sebagian kecil yang bisa selamat dari dosa itu.
Ibnu Abbas berkata,
“Menikahlah
kalian, sebab satu hari bersama istri lebih baik daripada ibadah seperti ini
(shalat) selama satu tahun.”
Ibnu Mas’ud, dalam keadaan luka tertusuk
pedang di medan perang, berkata “Nikahkanlah aku, sebab aku tidak senang bertemu Allah
dalam keadaan membujang!”
Diriwayatkan
pula bahwa Imam Ahmad ibn Hambal
menikah lagi pada hari kedua setelah wafatnya istri beliau. Katanya, “Aku tidak
senang membujang.”